Aku berpaling menatap angin, tersenyum pada langit, bertanya-tanya tentang cita-cita, saat sekujur tubuhku diguyur hujan sore itu, aku tak berusaha lari, malahan berjalan pelan-pelan, membiarkan hujan menjilati kulitku, membiarkan jemari kakiku bermain-main dengan genangan air. Ahh.. betapa aku rindu perasaan ini, perasaan tersiram.. ! Tersiram motovasi dan semangat yang dulu sempat menguap, menguap oleh teriknya matahari. Tiba-tiba saja, hujan sore itu menyeretku untuk kembali berlari menembus dinding-dinding mimpi, menerobos selubung cita-cita.
Aku tak ingin hanya berhenti disini, teriakku dalam hati, lengkingan suaraku tercekat di batang tenggorokan, hanya karena aku sedang radang tenggorokan, kalau tidak sumpah mati akan kuteriakkan lonjakan semangatku. Akan kukeluarkan energi ini dari tubuhku, menularkannya pada orang-orang, membuat virus pada seluruh dunia… ohhh, mungkin aku terlalu berlebihan.
Sekarang aku mempercepat langkahku, seiring meredanya hujan, gerimis sekarang menggelitik di wajahku, menggodaku dengan desau angin sore. Senyumku membuncah, mungkin terlihat rona di wajahku, entahlah..
Dalam langkahku aku menyempurnakan do’aku diiringi merdu titik-titik hujan. Ibu, aku tak kan berhenti disini, apapun yang terjadi tak ada yang dapat menjebakku disini, aku belum terpatri mati bu, walaupun tanpa alas kaki aku akan tetap berjalan, menglilingi dunia, terus mereguk ilmu, mengais rizki dari-Nya. Kutinggalkan kau disana bukan untuk terciptanya jarak, tapi untukku belajar berdiri. Aku ingin merasakan panasnya tempaan baja di sela-sela sejuknya tetesan embun pagi, aku ingin rasakan labirin kehidupan yang melulu kau ceritakan dan berusaha untuk tak tersesat di dalamnya. Ini aku, yang berlarian mengejar mimpi, yang pernah terpuruk karena cinta, tertatih demi cita. Aku tak ingin menggenggam emas dan permata belaka, untuk apa ? Aku ingin menikmati kilap-kilap mineral, membius pupilku dengan sistim kristal dan warnanya lalu menafsirkan arti kehadirannya di muka bumi ini
Aku mendamba berjuta pesona pengalaman dari petualangan ini, beragam cerita dari beragam mahluk Allah di muka bumi, mengambil sari patinya dan kucuri untuk mozaik hidupku. Kepingan-kepingan mozaik itu masih tercecer ribuan banyaknya dan tercerai berai melingkupi dunia fana’ ini, menantiku disana dengan cerita dan akhir yang tiada dapat disangka, tidakkah engkau rasakan kawan ? tidakkah engkau inginkan ? menjalani dan membaca arah kehidupan dengan bintang-bintang di langit, peta serta kompas kehidupan, bimbang terhantam kekuatan hembusan angin di puncak gunung, lalu dipeluk laut dan samudra dengan sejuta keindahan bawah laut.. Subhanallah. Aku ingin larut dalam aroma dedaunan dan kayu busuk, hafal tiap nyanyian serangga dan kumbang hutan, dihempas badai peluh di tengah gurun, berjingkat di atas gagahnya batuan vulkanik, lincah mengayuh dayung di sungai tak bermuara, aku ingin mencobanya, merasakannya, mensyukurinya dan menjadikan sebagai konsentrat makna kehidupan
Semua kejadian, fenomena, dan peristiwa di bumi dan di dalam bumi memaksaku untuk bertafakur, lalu mencari jawabnya agar terpuaskan dahaga ladang ilmu karunia-Nya. Sungguh, tiap langkah yang telah kujejak-kan, tiap tempat yang kusinggahi, tiap mahluk yang berinteraksi, tiap ekspresi emosi yang kurasakan, semakin membuatku kuat, bahwa tiada lagi nikmat dari Mu yang dapat didustakan.
Do’a ini untuk ibu, agar ridho dan restunya menyertai keikhlasan hatinya untuk merelakan ku pergi jauh, berkelana, bertualang, mencari dan menemukan kepingan-kepingan mozaik hidupku, yang akan aku kumpulkan dan kusimpan untuk melengkapi hidupku.. Belum lagi selesai aku berdo’a, sinar matahari sore muncul, mengganti awan hitam kelabu yang mengantar sang hujan, lalu cepat berganti warna dengan kemerahan khas senja. Sekelebat kilap dan kilaunya menyungginkan senyum ’selamat sore’ untukku, sebuah mata yang lain untuk kita agar bisa melihat ’senyum’ itu.
Kutulis ini di Banjarbaru, late @ nite
Monday, June 22, 2009
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 komentar:
Post a Comment